Senin, 12 April 2010

Prihatin Film Indonesia

Senin, 12 April 2010

Film Suster Keramas LULUSAN S1 Desain Komunikasi Visual Institut Teknologi Bandung (ITB) ini adalah salah seorang perintis komunitas film indie di Bandung. Sejak lulus dari kampusnya tahun 2001, Iqbal mulai memproduksi film pendek dan telah menghasilkan sekitar 50 karya, mulai dari film iklan, video klip, film dokumenter, dan film cerita panjang. Kendati karyanya bisa dikategorikan film independen, namun Iqbal tidak mau disebut sebagai anggota komunitas film indie. "Saya bukan komunitas film indie, tapi aktif sebagai pembuat film. Karena pengotak-kotakan pelaku film indie maupun film lainnya tidak bagus," katanya singkat.

Suster Keramas Menurutnya, banyak mahasiswa yang mengaku pembuat film indie, tapi karya filmnya bukan buah dari pemikiran cerdas dan sarat dengan idealisme. "Karya-karyanya justru pesanan dari orang yang memiliki modal. Itu namanya bukan indie lagi," ujar Iqbal saat ditemui "GM" di Gedung Kayu lantai 3 kompleks Masjid Salman, ITB, Jumat (2/4).

Berbicara soal film Indonesia, Iqbal masih memandang sinis film-film yang kini menjamur di bioskop-bioskop. "Perfilman di Indonesia tidak memiliki visi. Hanya dianggap sebagai komoditas bagi orang-orang yang punya duit. Sebuah bisnis yang merusak moral bangsa, tanpa memerhatikan isi film tersebut," ucap Iqbal seraya menyebutkan judul-judul film seperti Suster Keramas, Hantu Jamu Gendong, dan film yang berbau pornoaksi lainnya.

Ia sangat menyayangkan kualitas film Indonesia serta teknis pembuatan yang masih rendah dibandingkan film-film dari luar. Padahal, film merupakan bagian besar dari sebuah kebudayaan. Film juga merupakan cermin dari bangsanya. "Kalau banyaknya film seperti itu, maka itukah cerminan bangsa Indonesia di mata luar? Sakit jiwa dan selera rendah," ucapnya.

Sikap sinis yang ditunjukkan Iqbal terhadap film-film Indonesia karena rasa kecewa terhadap pemerintah yang tidak mendorong dan memberikan dukungan berupa kebijakan.

"Seharusnya pemerintah concern dalam memberikan dukungan berupa kebijakan terhadap perfilman Indonesia. Tidak hanya melihat industrinya saja, tetapi memiliki desain bagaiman perfilman Indonesia seharusnya dibangun. Indonesia sebenarnya memiliki banyak sineas berbakat dan berkarya bagus, namun bukan karena dorongan pemerintah, melainkan orang tersebut yang tetap struggle," kata Iqbal.

Kendati menatap sinis film Indonesia, Iqbal pun tidak menutup mata masih ada beberapa film yang berkualitas. Salah satunya film Jermal.

Iqbal mengakui, kendati dihadapkan pada kondisi perfilman yang tidak menguntungkan bagi pelaku yang mengusung tema idealis, namun ia tetap optimis membangun perfilman menjadi lebih baik.

"Kita harus optimis dan tetap eksis. Saya dan teman-teman khususnya di Salman Films tetap belajar dan menyuarakan tekad untuk mengubah perfilman Indonesia menjadi lebih baik. Memadukan secara cerdas kepentingan bisnis dan kepentingan negara, jangan sampai merusak moral bangsa," katanya. Baginya, film memang bukan sekadar hiburan. Film sudah menjadi salah satu parameter tingginya peradaban suatu bangsa. "Bila kita melihat film-film yang dihasilkan oleh negara-negara maju dunia, seperti Jerman atau Jepang misalnya, kita pasti akan menemukan kualitas yang menjadi cermin pencapaian mereka akan pengetahuan, teknologi, dan seni," katanya. (cucu sumiati/"GM")**

0 komentar:

:)) :)] ;)) ;;) :D ;) :p :(( :) :( :X =(( :-o :-/ :-* :| 8-} ~x( :-t b-( :-L x( =))

Posting Komentar

Related Posts :

 
minima green fragmentary